Sekilas tentang Virus COVID-19 Varian Omicron BA.4 dan BA.5
Kasus Covid-19 di Indonesia mengalami peningkatan dalam beberapa hari terakhir. Angkanya bahkan menembus seribu kasus harian dalam enam hari berturut-turut. Pada 20 Juni 2022, pasien positif Covid-19 tercatat bertambah 1.180 orang.
Dengan tambahan tersebut, saat ini total kasus Covid-19 di tanah air telah mencapai 6.069.255 kasus. Kementerian Kesehatan menemukan bahwa dua subvarian virus Omicron baru, yakni BA.4 dan BA.5, menjadi salah satu penyebab yang membuat kasus infeksi di Indonesia kembali naik. Untuk itu, Indonesia perlu waspada terhadap penyebaran varian baru tersebut.
Subvarian Baru Ahli Optimistis Puncak BA.4 – BA.5 Lebih Rendah dari Omicron, Mengapa? Jokowi Kesulitan Cari Peserta Vaksinasi Booster Meski Covid Menanjak Subvarian B.4 dan BA.5 telah terdeteksi masuk ke Indonesia pada tanggal 6 Juni 2022. Seperti dilansir GAVI, subvarian baru itu membawa mutasi L452R yang sebelumnya terdeteksi pada Delta. Varian ini akan berpotensi menyebar lebih cepat, namun dengan tingkat kesakitan yang rendah.
Penjelasan lebih lengkap tentang Virus COVID-19 Varian Omicron BA.4 dan BA.5, mari simak ulasan berikut ini!
Bagaimana kondisi Covid di tengah pelonggaran?
Soal penggunaan masker, pihak pemerintah mengatakan banyak masyarakat yang salah mengartikan pelonggaran penggunaan masker yang sempat disampaikan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.
Kasubbid Dukungan Kesehatan Satgas Penanganan Covid-19 Alexander Ginting mengatakan pelonggaran memakai masker itu sifatnya kontekstual atau bisa dilakukan dalam kondisi tertentu saja.
Artinya, kalau masyarakat keluar rumah dan di dekat rumah, dan tidak ada kerumunan, masyarakat bisa lepas masker. Tetapi manakala masyarakat sudah sampai di terminal atau sudah sampai di stasiun, maka masker yang ada di tas atau yang ada di saku masyarakat, itu masyarakat pakai.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan memang tidak semua masyarakat memahami sekaligus mematuhi aturan itu karena penerjemahannya pun berbeda-beda.
Oleh sebab itu, pemerintah menyadari harus memperbaiki komunikasi publik dalam penanganan pandemi ini. Hal Ini membutuhkan komunikasi publik agar masyarakat itu dari level apapun disampaikan dengan cara yang benar. Kita perlu melakukan edukasi dan komunikasi ini secara berulang-ulang.
Bagaimana antisipasinya?
Pemerintah juga diminta melakukan “deteksi dini” sebagai hal yang harus dilakukan untuk mencegah penularan. Deteksi dini itu tidak selalu melakukan tes yang masif, tapi dibantu dengan literasi sehingga terbangun persepsi risiko.
Masyarakat kalau merasa bergejala, diharapkan untuk tidak usah ke mana-mana, dengan akhirnya ada isolasi dan karantina dengan mandiri. Itu yang akan efektif sekali di awal mencegah penularan.
Melihat tren kenaikan kasus positif, ahli kesehatan masyarakat juga menganjurkan pemerintah untuk melakukan evaluasi kebijakan dan komunikasi publik yang lebih baik.
Memang kita pahami dari sisi politik dan sosial, aspek itu yang membuat pemerintah wait and see, tapi kalau kita lihat dari sisi epidemiologi, apalagi varian baru yang ada, seharusnya sekarang ini [kenaikan kasus] dicegah, bukan dibiarkan.
Menyikapi peningkatan kasus positif harian yang terjadi belakangan ini, pemerintah meminta masyarakat tetap mematuhi protokol kesehatan dan melakukan vaksinasi sebagai bagian dari upaya pengendalian.
Pemerintah belum akan melakukan pengetatan karena data menunjukkan kondisi masih “terkendali”. Terkendali itu ada beberapa indikator, yang pertama adalah laju penularan, itu angkanya di bawah 1%, kemudian positivity rate-nya di bawah 5%, kemudian angka kematiannya di bawah 3%, dan hospitalization (tingkat rawat inap) di bawah 5%.
Untuk melakukan evaluasi kebijakan, tidak cukup melihat dari salah satu indikator saja. Oleh sebab itu, untuk melakukan pengendalian pandemi saat ini, di tengah peningkatan kasus akibat varian BA.4 dan BA.5, pemerintah meminta masyarakat menerapkan protokol kesehatan dan melakukan vaksinasi.
Alih-alih hanya meminta masyarakat mematuhi protokol kesehatan dan melakukan vaksinasi, ahli epidemiologi Masdalina Pane mengatakan pemerintah juga perlu memperbaiki porsi pengendalian pandeminya, yaitu 3T, karena selama ini 3T yang dilakukan pemerintah dinilai belum ideal.
Terkait tracing, indikator standarnya adalah 80% kasus baru mampu dilakukan tracing, yang artinya mampu dilacak dan kemudian mampu diberlakukan karantina. Namun, selama ini pemerintah menggunakan rasio kasus atau rasio kontak erat sebagai standarnya.
Vaksinasi masih rendah
Sampai Juni 2022, tingkat vaksinasi Covid-19 dosis lengkap di Indonesia belum mencapai target WHO, yaitu 70% dari populasi. Vaksinasi dosis ketiga atau booster pun masih berada di angka 23% dari sasaran vaksinasi 208 juta orang.
Dengan kondisi seperti ini, para ahli juga meminta pemerintah meningkatkan cakupan vaksinasi karena vaksin berguna untuk mencegah keparahan saat terjadi infeksi. Cakupan vaksinasi terus diperluas, terutama menjangkau kelompok-kelompok rentan, vaksin lengkap maupun vaksin booster.
Laju vaksinasi di Indonesia saat ini berjalan stagnan, dalam dua bulan terakhir hanya 1% peningkatan laju vaksinasi secara nasional. Pemerintah membenarkan tingkat vaksinasi belum mencapai target, terlebih untuk booster dengan lima provinsi dari 34 provinsi yang baru melampaui angka 30%.
Kenapa pencapaian di beberapa daerah rendah? Pencapaian rendah bukan semata-mata Dinas Kesehatan tidak bekerja, atau tim vaksinasi tidak bekerja, tapi ada keengganan masyarakat karena masyarakat melihat situasi sudah aman.
Jadi, masyarakat melihat bahwa saat ini (vaksinasi) tidak menjadi prioritas lagi. Oleh sebab itu, dia menambahkan, saat ini pemerintah ingin menyelesaikan target vaksinasi yang belum tercapai.